Waktu
selalu terganti oleh biasan sinar mentari di setiap pagi, yang kala itu cahaya
pagi selalu menyambutku terbangun dari mimpiku, menandakan bahwa cerita baru
telah di mulai namun aku selalu berharap terjebak selamanya dalam ilusi mimpi
indahku sendiri, aku selalu takut akan sebuah ‘takdir’ yang masih menjadi
misteri dalam dunia nyataku tapi itu hanyalah aku di masa lalu, hidup dalam
jembatan yang bergoyang tak berani melangkah hanya selalu berpegangan hingga aku
bertemu dengannya, dia yang kucari selama ini, dia sinar mentari di pagi hari
yang selalu ku nanti, membuat kedua mataku benar-benar bisa melihat apa yang
sebelumnya tak dapat kulihat, dengannya aku merasakan kedekatan, dengannya aku merasa
nyaman, dan dengannya pula aku merasakan kebahagiaan.
Kisah ini dimulai 6 tahun yang lalu,
bersamaan dengan berakhirnya masa putih
abu dan berawalnya masa kuliahku. Siapa yang menyangka bahwa cerita hidupku
yang sesungguhnya akan berawal dari sini, di bangku perkuliahan. Memang tak ada
yang istimewa pada masa orientasi kuliah pertamaku, semua ku jalani dengan
biasa bahkan sangat biasa. Di kedua tanganku tergenggam plat kayu bertuliskan
nama kelompok ospek ku, kenapa harus
aku? Tentu karena aku datang paling awal lebih pagi dari pada yang lain
membuatku semakin berfikir bahwa ospek
itu membosakan namun anggapan itu sirna dengan cepatnya ketika seseorang dari
belakang tiba-tiba menepuk pundakku, suara tepukkan pundak mengalihkan
perhatianku, sekali menoleh terlihat seorang berparas cantik nan anggun dengan
kerudung merah yang menutupi mahkota rambutnya tanda bahwa dia sangat menjaga
kehormatannya. “eeh, ini kelompok 32 ya??” aku tersentak dari lamunanku saat
alunan suaranya menembus masuk dalam telingaku mengalir ke semua saraf
tubuhku.“ehmm, iii..iyaa ini kelompok 32…” jawabku smbil terbata-bata,
pesonanya sungguh membuatku tak dapat berkata-kata, papan yang ku bawa pun
seakan juga ikut merasakannya.
Tiga hari berlalu setelah pertemuan
itu, saatnya duduk belajar di dalam kelas, semuanya sudah duduk di bangku kesukaan,
aku duduk paling belakang. Tiba-tiba “kreekk..” ada yang membuka pintu, ku
alihkan pandanganku pada asal suara itu, terlihat tangan putih nan mulus dari
balik pintu, jantungku berdebar, aliran darahku semakin cepat, aku tak bisa
mengontrolnya ketika wajah cantik yang sangat anggun berhias jilbab bunga-bunga
keluar dari balik pintu kayu itu. Yaa... tidak salah lagi dia yang waktu itu,
dia yang menepuk pundakku, dia yang ku tunggu-tunggu, sungguh pesona yang tiada
duanya. Entah itu sebuah kebetulan atau bukan sepertinya tuhan merencanakan ini
semua untukku dan untuk dirinya.
Untuk beberapa waktu
akhirnya aku tahu bahwa ‘ghina’ adalah namanya, begitu indah sesuai dengan
wajahnya. Sangat ingin aku dekat denganya, entah mengapa? Aku juga tidak tahu
mengapa, hanya saja aku seperti melihat ada ‘sesuatu’ hal dalam dirinya yang
selama ini aku cari-cari. Dan sekali lagi tuhan benar-benar memepertemukan
kami, dia berada di kelompokku saat pembagian tugas mata kuliah dengan
bermodalkan basa-basi aku mulai menngobrol dengannya, aku dan ghina terhanyut
dalam obrolan dan mulai membicarakan tentang apa itu arti sebuah penderitaan
dan kebahagiaan, hingga kusadari bahwa dia benar-benar seorang wanita yang ku
cari selama ini, dia wanita yang kuat, ketegaran hatinya menyentuh jiwa dan
hati kecilku, di atas banyaknya cobaan hidupnya dia masih bisa tersenyum dengan
manisnya, bagaimana denganku? Bagaimana jika aku menjadi drinya? Masih bisakah
aku tetap tersenyum sepertinya? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul ketika
aku melihat tawa riangnya, aku tak mau tawa lepasnya itu hilang, aku masih
ingin melihatnya di dalam setiap detik hidupku, tawanya itu menyinari hati
gelapku, bagai sinar mentari yang mengganti malam dengan pagi.
Kedekatan
menghadirkan kenyamanan dan kenyamanan menghadirkan sebuah ‘cinta’. Waktu telah
mengubah kami berdua, mengajarkan aku dan ghina tentang arti sebuah kedekatan
dan cinta, dua hal yang berbeda tapi tak dapat dipisahkan. 4 tahun sudah berlalu
semenjak pertemuan itu, tapi kedekatan aku dan ghina tak berlalu begitu saja,
masa kuliahku telah usai namun kehidupanku belum selesai. Hidup masih tetap
kujalani bersamanya tanpa ada keraguan dan tanpa ada niat untuk meninggalkan
karena aku sudah menentukan pilihan bahwa dirinyalah sebagai pendamping kehidupan. Mendapat
predikat ‘lulus’ dan bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan
cukup untuk tabunganku di masa depan, cobaan demi cobaan juga datang, banyak sudah
masalah hidup yang ku alami namun tetap kujalani.
Bekas robekan kertas
kalender dinding kian waktu semakin melimpah tanda bahwa hari dan tahun terus berganti
kedekatan kami juga kian berganti menjadi sebuah ikatan, tepatnya ikatan seumur
hidup. Aku dan ghina telah menikah, janji yang kami ucapkan pada pesta
pernikahan takkan pernah kami lupakan. Dan sekarang aku dapat benar-benar merasakan
lembutnya pancaran sinar mentari pagi dari senyumnya, tanpanya aku adalah malam
yang takkan pernah menjadi pagi, tanpanya jua jembatan yang dulunya bergoyang
bisa ku sebrangi karena kudapati dirinya telah menanti di penguhujung tali.
Comments
Post a Comment